Peristiwa pemadaman listrik terburuk dalam sejarah India beberapa waktu
lalu mengingatkan pada situasi kelistrikan di dalam negeri.
Insiden ini terjadi karena gardu listrik yang melayani 370 juta penduduk di sembilan negara bagian itu tak sanggup
melayani permintaan lebih di musim panas ini. Ada juga yang mengatakan,
listrik mati di India diakibatkan infrastruktur jaringan yang sudah
dimakan usia.
Bagaimana dengan Indonesia? Sampai sekarang,
Indonesia masih berpacu dengan penyelesaian proyek 10 ribu megawatt demi
menjaga keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan. Padahal proyek ini
seharusnya selesai 2010 lalu.
Sekarang pemerintah menargetkan
proyek tersebut sudah tuntas 99 persen sampai akhir 2014. Dengan
cadangan listrik yang ada sekarang, plus proyek tersebut, PLN yakin
mampu memasok kebutuhan listrik yang tahun ini tumbuh sekitar 9 persen.
Namun
bagi Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute of Essential Services
Reform (IESR), Indonesia juga punya potensi mengalami pemadaman seperti
India yang membuat hampir 700 juta jiwa hidup tanpa listrik dalam
beberapa hari. “Terutama untuk wilayah Jawa-Bali,” ujarnya.
Apalagi,
dia mengingatkan, bahwa wilayah Jawa-Bali sudah punya pengalaman
pemadaman akibat sistemnya bermasalah. Dari gardu rusak hingga trafo
yang tak tahan menanggung beban berlebihan. Persis seperti yang terjadi
di India.
Jika pemadaman dengan skala yang sama terjadi di
Jawa-Bali, bisa dibayangkan kekacauan yang muncul. Jawa-Bali sampai
sekarang masih menjadi pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan di
Indonesia.
Di India, saat terjadi mati lampu massal tersebut,
Jutaan pesawaat dan kereta api terdampar.
Rumah sakit terpaksa menggunakan generator untuk melakukan tindakan
medis darurat, dan lalu lintas macet karena lampu pengaturnya padam.
Ancaman
ini jadi semakin gawat saat kita mengingat bahwa beban listrik
Jawa-Bali naik terus, sementara suplai tidak mengikuti perkembangan
bebannya.
Berdasarkan catatan PLN Jawa-Bali, saat ini beban
puncak di wilayah tersebut mencapai 20.343 megawatt (MW). Sedangkan
kemampuan pasokan sebesar 26.215 MW, sehingga sebenarnya masih ada
cadangan sekitar 30 persen.
Kendati demikian, untuk
mengantisipasi potensi terjadinya kekurangan pasokan listrik—mengingat
pertumbuhan kebutuhan pada tahun ini sekitar 9 persen—pemerintah terus
mendorong proyek listrik 10 ribu MW.
Hingga paruh pertama tahun
ini, Direktur Utama PLN (Persero) Nur Pamuji mengungkapkan, proyek yang
sudah bisa diselesaikan memiliki kapasitas sebesar 4.450 MW.
Dia
memperkirakan hingga akhir tahun 2014, ada tambahan lagi sekitar 5.427
MW. Intinya, proyek tambahan daya ini tuntas bersamaan dengan
berakhirnya masa pemerintahan SBY-Boediono.
Terkait berapa
kebutuhan pertumbuhan listrik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, dalam
hitungan Fabby, jika ekonomi tumbuh 6 persen, itu setara dengan
pertumbuhan listrik 8-9 persen.
Namun harus diingat, hingga saat
ini belum semua wilayah Indonesia teraliri listrik. Data Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral mengungkapkan, hingga akhir tahun lalu
baru 70,4 persen wilayah yang bisa dialiri listrik (elektrifikasi).
Tapi kalau dihitung sampai sekarang, Nur Pamudji mengungkapkan bahwa elektrifikasi Indonesia sudah mencapai 71,17 persen.
Meski begitu, masih banyak daerah yang hanya 50 persen saja teraliri listrik, terutama di wilayah timur Indonesia.
Sampai
Januari 2012, daerah tertinggi yang mengalami elektrifikasi adalah DKI
Jakarta, yang sudah mencapai 100 persen. Sedangkan terendah dialami Nusa
Tenggara Timur yang baru 28,56 persen daerahnya teraliri listrik,
menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Beberapa wilayah lain yang aliran listriknya masih di bawah 50 persen adalah Papua, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Barat.
Sementara
kebutuhan listrik Indonesia pada 2020, menurut Rencana Umum Penyediaan
Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2011–2020 yang dikeluarkan PLN, sebesar 328
TWh (Terra Watt per hour) dari 162,4 TWh pada 2011. Khusus untuk
Jawa-Bali saja, kebutuhannya mencapai 241,2 TWh pada delapan tahun
mendatang.
Selain memenuhi unsur kebutuhan, perlu ada juga upaya pengendalian dari sisi permintaan lewat efisiensi energi.
Fabby
menegaskan, pertumbuhan di bidang kelistrikan jangan hanya menambah
kapasitas. Seluruh sistem kelistrikan juga harus terus-menerus
ditingkatkan kapasitasnya. “Infrastruktur juga sangat penting, seperti
trafo. Jangan sampai justru trafonya kelebihan beban,” ujarnya.
Bauran energi
Ke
depannya, Fabby memperkirakan sumber listrik di Indonesia masih
dikuasai oleh energi fosil. Batu bara, katanya, kemungkinan masih
menjadi pilihan pemerintah sambil mencoba energi terbarukan panas bumi.
Sesuai
dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006, sebenarnya pemerintah
sudah menetapkan bauran energi primer yang ditargetkan hingga 2025. Jika
saat ini penggunaan minyak bumi masih 54,78 persen, pada 2025, minyak
bumi seharusnya hanya menyuplai 20 persen untuk energi nasional.
Lalu
sisanya didapat dari mana? Ada gas bumi 30 persen, batu bara 33 persen,
serta energi baru dan terbarukan 17 persen. Energi terbarukan terdiri
atas panas bumi (5 persen); bahan bakar nabati (95 persen); biomas,
nuklir, air, surya, angin (5 persen), batu bara yang dicairkan (2
persen).
Namun Nyoman Iswarayoga, Direktur Program Iklim dan
Energi WWF-Indonesia berharap, pilihan paling rasional ke depan yang
dijadikan sebagai energi primer listrik adalah panas bumi. Alasannya,
kebutuhan listrik yang terus meningkat akan membuat daya tahan energi
fosil bakal mengalami keterbatasan.
Dalam hitungannya, minyak
yang tertanam di dalam perut bumi Indonesia ini tidak akan lagi mampu
menopang kebutuhan produksi listrik pada 12-15 tahun ke depan. Untuk
gas, dia menghitung sekitar 40-50 tahun yang akan datang mungkin akan
habis.
Sementara untuk memakai batu bara, lanjutnya, sangat
berisiko pada emisi. Selain itu, berdasarkan data PLN, dari cadangan
yang mencapai 21,1 miliar ton, diperkirakan bakal habis dalam 50 tahun.
Karena
itu, Nyoman berpandangan, energi panas bumilah yang paling rasional,
mengingat Indonesia memiliki potensi terbesar di dunia, yakni 29
gigawatt. Dari jumlah itu, yang baru dimanfaatkan sekitar 1,2 gigawatt.
WWF-Indonesia
mencatat, kebijakan energi nasional telah mentargetkan panas bumi dapat
menyokong 5 persen bauran energi nasional pada 2025. “Tapi hingga saat
ini baru berkontribusi 1 persen. Perkembangannya lamban,” ungkap
organisasi non-pemerintah itu.
Nyoman berharap target tersebut
bisa tercapai. Pihaknya juga sedang membantu asosiasi dan pengembang
panas bumi, pemerintah melalui kementerian terkait seperti Kementerian
Kehutanan, Kementerian ESDM, untuk membangun kriteria atau petunjuk umum
memanfaatkan potensi panas bumi yang sangat besar di kawasan hutan.
Tentu
saja, kata dia, kriteria utamanya adalah memperhatikan fungsi kawasan
hutan, kepentingan masyarakat di sekitarnya, serta menjaga sumber daya
alam hayati.