Selasa, 14 Agustus 2012

Pemadaman Listrik Masal di India bisa terjadi di Indonesia

Peristiwa pemadaman listrik terburuk dalam sejarah India beberapa waktu lalu mengingatkan pada situasi kelistrikan di dalam negeri.

Insiden ini terjadi karena gardu listrik yang melayani 370 juta penduduk di sembilan negara bagian itu tak sanggup melayani permintaan lebih di musim panas ini. Ada juga yang mengatakan, listrik mati di India diakibatkan infrastruktur jaringan yang sudah dimakan usia.

Bagaimana dengan Indonesia? Sampai sekarang, Indonesia masih berpacu dengan penyelesaian proyek 10 ribu megawatt demi menjaga keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan. Padahal proyek ini seharusnya selesai 2010 lalu. 

Sekarang pemerintah menargetkan proyek tersebut sudah tuntas 99 persen sampai akhir 2014. Dengan cadangan listrik yang ada sekarang, plus proyek tersebut, PLN yakin mampu memasok kebutuhan listrik yang tahun ini tumbuh sekitar 9 persen.

Namun bagi Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif  Institute of Essential Services Reform (IESR), Indonesia juga punya potensi mengalami pemadaman seperti India yang membuat hampir 700 juta jiwa hidup tanpa listrik dalam beberapa hari. “Terutama untuk wilayah Jawa-Bali,” ujarnya.

Apalagi, dia mengingatkan, bahwa wilayah Jawa-Bali sudah punya pengalaman pemadaman akibat sistemnya bermasalah. Dari gardu rusak hingga trafo yang tak tahan menanggung beban berlebihan. Persis seperti yang terjadi di India.

Jika pemadaman dengan skala yang sama terjadi di Jawa-Bali, bisa dibayangkan kekacauan yang muncul. Jawa-Bali sampai sekarang masih menjadi pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan di Indonesia.

Di India, saat terjadi mati lampu massal tersebut, Jutaan pesawaat dan kereta api terdampar. Rumah sakit terpaksa menggunakan generator untuk melakukan tindakan medis darurat, dan lalu lintas macet karena lampu pengaturnya padam.

Ancaman ini jadi semakin gawat saat kita mengingat bahwa beban listrik Jawa-Bali naik terus, sementara suplai tidak mengikuti perkembangan bebannya.

Berdasarkan catatan PLN Jawa-Bali, saat ini beban puncak di wilayah tersebut mencapai 20.343 megawatt (MW). Sedangkan kemampuan pasokan sebesar 26.215 MW, sehingga sebenarnya masih ada cadangan sekitar 30 persen.

Kendati demikian, untuk mengantisipasi potensi terjadinya kekurangan pasokan listrik—mengingat pertumbuhan kebutuhan pada tahun ini sekitar 9 persen—pemerintah terus mendorong proyek listrik 10 ribu MW.

Hingga paruh pertama tahun ini, Direktur Utama PLN (Persero) Nur Pamuji mengungkapkan, proyek yang sudah bisa diselesaikan memiliki kapasitas sebesar 4.450 MW.

Dia memperkirakan hingga akhir tahun 2014, ada tambahan lagi sekitar 5.427 MW. Intinya, proyek tambahan daya ini tuntas bersamaan dengan berakhirnya masa pemerintahan SBY-Boediono.

Terkait berapa kebutuhan pertumbuhan listrik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, dalam hitungan Fabby, jika ekonomi  tumbuh 6 persen, itu setara dengan pertumbuhan listrik 8-9 persen.

Namun harus diingat, hingga saat ini belum semua wilayah Indonesia teraliri listrik. Data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengungkapkan, hingga akhir tahun lalu baru 70,4 persen wilayah yang bisa dialiri listrik (elektrifikasi).

Tapi kalau dihitung sampai sekarang, Nur Pamudji mengungkapkan bahwa elektrifikasi Indonesia sudah mencapai 71,17 persen.

Meski begitu, masih banyak daerah yang hanya 50 persen saja teraliri listrik, terutama di wilayah timur Indonesia.

Sampai Januari 2012, daerah tertinggi yang mengalami elektrifikasi adalah DKI Jakarta, yang sudah mencapai 100 persen. Sedangkan terendah dialami Nusa Tenggara Timur yang baru 28,56 persen daerahnya teraliri listrik, menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Beberapa wilayah lain yang aliran listriknya masih di bawah 50 persen adalah Papua, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Barat.

Sementara kebutuhan listrik Indonesia pada 2020, menurut Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2011–2020 yang dikeluarkan PLN, sebesar 328 TWh (Terra Watt per hour) dari 162,4 TWh pada 2011. Khusus untuk Jawa-Bali saja, kebutuhannya mencapai 241,2 TWh pada delapan tahun mendatang.

Selain memenuhi unsur kebutuhan, perlu ada juga upaya pengendalian dari sisi permintaan lewat efisiensi energi.

Fabby menegaskan, pertumbuhan di bidang kelistrikan jangan hanya menambah kapasitas. Seluruh sistem kelistrikan juga harus terus-menerus ditingkatkan kapasitasnya. “Infrastruktur juga sangat penting, seperti trafo. Jangan sampai justru trafonya kelebihan beban,” ujarnya.

Bauran energi

Ke depannya, Fabby memperkirakan sumber listrik di Indonesia masih dikuasai oleh energi fosil. Batu bara, katanya, kemungkinan masih menjadi pilihan pemerintah sambil mencoba energi terbarukan panas bumi.

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006, sebenarnya pemerintah sudah menetapkan bauran energi primer yang ditargetkan hingga 2025. Jika saat ini penggunaan minyak bumi masih 54,78 persen, pada 2025, minyak bumi seharusnya hanya menyuplai 20 persen untuk energi nasional.

Lalu sisanya didapat dari mana? Ada gas bumi 30 persen, batu bara 33 persen, serta energi baru dan terbarukan 17 persen. Energi terbarukan terdiri atas panas bumi (5 persen); bahan bakar nabati (95 persen); biomas, nuklir, air, surya, angin (5 persen), batu bara yang dicairkan (2 persen).

Namun Nyoman Iswarayoga, Direktur Program Iklim dan Energi WWF-Indonesia berharap, pilihan paling rasional ke depan yang dijadikan sebagai energi primer listrik adalah panas bumi. Alasannya, kebutuhan listrik yang terus meningkat akan membuat daya tahan energi fosil bakal mengalami keterbatasan.

Dalam hitungannya, minyak yang tertanam di dalam perut bumi Indonesia ini tidak akan lagi mampu menopang kebutuhan produksi listrik pada 12-15 tahun ke depan. Untuk gas, dia menghitung sekitar 40-50 tahun yang akan datang mungkin akan habis.

Sementara untuk memakai batu bara, lanjutnya, sangat berisiko pada emisi. Selain itu, berdasarkan data PLN, dari cadangan yang mencapai 21,1 miliar ton, diperkirakan bakal habis dalam 50 tahun.

Karena itu, Nyoman berpandangan, energi panas bumilah yang paling rasional, mengingat Indonesia memiliki potensi terbesar di dunia, yakni 29 gigawatt. Dari jumlah itu, yang baru dimanfaatkan sekitar 1,2 gigawatt.

WWF-Indonesia mencatat, kebijakan energi nasional telah mentargetkan panas bumi dapat menyokong 5 persen bauran energi nasional pada 2025. “Tapi hingga saat ini baru berkontribusi 1 persen. Perkembangannya lamban,” ungkap organisasi non-pemerintah itu.

Nyoman berharap target tersebut bisa tercapai. Pihaknya juga sedang membantu asosiasi dan pengembang panas bumi, pemerintah melalui kementerian terkait seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, untuk membangun kriteria atau petunjuk umum memanfaatkan potensi panas bumi yang sangat besar di kawasan hutan.

Tentu saja, kata dia, kriteria utamanya adalah memperhatikan fungsi kawasan hutan, kepentingan masyarakat di sekitarnya, serta menjaga sumber daya alam hayati.

0 comments:

Posting Komentar